Cinta Pertama

“Pacar pertamamu, siapa?” tanyamu, dulu.

“Mantanku banyak. Aku tidak ingat.” jawabku.

“Sialan.”

Aku tergelak.

Lain hari, kita berbincang tentang cinta pertama. Perkara itu, aku akan dengan senang hati bercerita.

Akan terdengar amat klise kalau aku katakan cinta pertama adalah Ayah. Walau tidak menutup kenyataan bahwa di duniaku, Ayah merupakan sosok superhero yang lumayan sempurna. Beliau mau berpayah-payah membahagiakanku. Menerimaku dengan tanpa menuntut ini itu. Meski, yah, Ayah juga bisa menjadi orang asing bagiku. Kita mengenal tapi tak saling kenal.

Tapi kata orang, cinta pertama itu bisa menimbulkan gelenyar kupu-kupu yang membuat perut bergemerisik. Bahkan setelah tak lagi bersama. Bahkan setelah menikah dengan pasangan masing-masing. Bahkan ketika sudah membuai bayi saat bertemu lagi. Pada lelaki, aku tak bisa memikirkan sesiapa yang bisa memberikanku perasaan itu. Mungkin ada, tapi kenapa begitu mudah dilupa? Kau tahu, aku tak pernah paham cecintaan semacam itu. Dan yang aku tahu, saat ini aku hanya mau kamu. Persetan dengan mantan, cinta pertama, atau lainnya.

Hmm, kalau cinta pertama bisa memberikan sensasi benci tapi tak sanggup tanggal untuk meninggalkan, aku bisa menjawab dengan tegas. Cinta pertamaku adalah buku-buku, tulis-menulis, dan teater.

Aku bisa menahan diri untuk tidak membeli makanan, cemilan, baju atau lainnya agar aku bisa membeli buku-buku bagus yang kudamba. Aku tidak paham pada mereka yang memandangku aneh ketika aku lebih memilih mengoleksi buku bacaan. Pun aku juga tidak memaksa mereka paham akan cinta-canduku pada buku-buku. Perkara ini, Ayah yang menulari hobinya akan menyentuh buku-buku setiap malam semenjak aku masih belajar mengenal aksara.

Setelahnya, karena buku-buku itu dan desakan dalam diri, aku jatuh pada tulis-menulis. Ketimbang telinga-mata manusia, aku lebih percaya helai-helai kertas milikku. Aku suka menulis buku harian, menumpahkan segala ledak-redam dalam kepala. Aku tenggelam pada wangi helainya ketika aku masih mengenakan merah-putih. Semakin waktu berjalan, semakin rangkaiku pada aksara kian melenakan.

Terakhir, pada akting, teater, dan segala yang merujuk pada sejenisnya. Sejak kecil, aku suka meniru ekspresi para wajah yang nampak di TV. Aku mulai menapaki dunia teater dengan langkah pasti setelah menemukan wadahnya. Melawan segala restu dan konspirasi, aku bertahan memeluk mereka. Tak melulu menjadi lakon, berdiri menjaga loket pun aku puas menjadi bagiannya.

Ketiga hal itu, benci-cintaku merasuk. Semarah-muak apapun aku pada mereka, akhirnya aku tetap kembali. Sebenci senja dalam tenang fajar, aku berhenti membaca, tapi aku tetap membeli buku. Separah lelah dengan napas tersendat, aku muak menulis namun aku tak bisa melepasnya. Semarah hening pada riuh, begitu pula aku pada teater, dan aku tetap memeluk.

“Dan kau, Sayang. Bagaimana tentang pacar dan cinta pertamamu?” kataku, tersenyum menatap binar jenaka matamu.

One thought on “Cinta Pertama

Leave a comment